Oleh: Don Utoyo, Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia Perjalanan perunggasan modern di Indonesia, diperiodisasikan oleh Dr. Suhadji melalui beberapa tahapan. Mulai dari pengenalan (1950-1960), perintisan (960-1970), pengembangan (1970-1980), penataan (1980-1990), globalisasi dan otonomi daerah (1990-2000), sampai ketahanan atau kemandirian (2000-2010).
Namun kondisi ini terkoreksi oleh adanya krisis moneter pada 1997 dan 1998 dan wabah flu burung pada 2003. Kini kita menghadapi Free Trade Area (FTA) dengan Asean, Asean-China, Asean-Australia-New Zealand, Asean-India, Asia-Pasific, dan lainnya.
Sejak awal, dibangun kerjasama erat ABG (Akademisi, Bisnis, Government) atau P5+Plus (Peneliti, Politisi + Pemerintah, Pelaku usaha, Pers, Publik). Bersyukur ada bantuan asing berupa sumber daya genetik unggas ras dan peneliti (Jerman, Belanda, USA, Australia, dan lain-lain)
Dilanjutkan peneliti Indonesia antara lain Prof. Dr. J.H. Hutasoit, Prof. Dr. DA. Lubis, Prof. Dr. D. Sugandi, Prof. Dr. Anggorodi, Prof. Dr. Peni, Dr. A.P Siregar, Dr. Samosir, dan lain-lain. Sejak itu kita kenal bangsa-bangsa ayam ras Leghorn, Australorp, Rhode Island Red, Sussex, dan seterusnya.
Sampai hasil rekayasa genetik dengan biaya sangat besar di negara maju tertentu dikembangkan menjadi strain (jenis) yang kita kenal sekarang seperti ISA, Cobb, Lohman, Ross, Hubbard, dan lainnya. Semua memerlukan pakan, manajemen peternakan dan kesehatan hewan yang harus baik.
Dalam memperkenalkan telur dan unggas ras, kita kenal pejuang pers perunggasan Wahyudi Mochtar (alm), pelaku dan pembina peternak on farm gigih mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI-AU Purnawirawan Sri M. Herlambang. Peran Pemerintah cukup menonjol antara lain melalui Direktur Jenderal Peternakan Prof. Dr. J.H. Hutasoit sampai kepada Presiden Suharto yang mendukung digelarnya pameran unggas di Istana.
Kini, menurut Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih perunggasan merupakan agribisnis yang berhasil dikembangkan pada masa Republik. Memerlukan ”industri-hulu’ (bibit dan pakan), peternak budidaya on farm, mata rantai pengolahan, pemasaran hilir atau off farm. Bibit, pakan, kesehatan hewan, budidaya, dan bimbingan perlu dijalin dalam suatu sistem kerjasama yang menguntungkan.
Lingkaran Siput
Sayang, perunggasan sering menghadapi situasi dilematis seperti under-demand danover produksi. Permintaan broiler dan telur sering tidak terduga, akibat faktor daya beli, harga bahan bakar minyak dan listrik, liburan sekolah, bencana (tsunami, banjir, ombak besar), puasa, isu-isu, dan lainnya.
Baru baru ini, perunggasan terpuruk paska lebaran dan musim paceklik, daya beli, turun ditambah dengan adanya isu Peraturan Daerah DKI Jakarta nomor 4/2007. Para peternak merugi cukup lama, timbulah saling curiga yang cenderung emosional, sampai para peternak menggelar saresehan di Bogor.
Kondisi ini seperti “lingkaran siput” yang selalu berulang, dan makin membesar. Kondisi itu meliputi jika bisnisnya untung ada investasi, kebutuhan dan produksi jadi tidak seimbang, harga produk atau bibit jatuh, peternak rugi dan saling tuding, lalu saat harga baik dan untung, melakukan ekspansi usaha lagi. Begitulah selalu berulang-ulang.
Harapan bisnis perunggasan memperoleh ’profit’, pemerintah memperoleh ’benefit’ yaitu terciptanya ketahanan pangan dan pemasukan pajak yang dapat digunakan untuk pembangunan. Publik memperoleh benefit atas ketersediaan telur dan daging ayam yang aman, sehat, utuh dan halal. Pers dapat berperan dalam memberi tahu publik memilih makanan bergizi yang mudah didapat dan harganya terjangkau.
Pada Februari lalu, Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian membuat surat edaran nomor 22066/SE/HK340/F/02/2010. Surat itu mengatur produksi DOC (Day Old Chick atau ayam umur sehari) layer dan broiler.
Mungkin langkah ini dapat diselaraskan dengan ’9 solusi ketahanan pangan’ Presiden SBY. Solusi tersebut antar lain menyangkut mensinergikan kebijakan pemerintah pusat, daerah dan pelaku usaha, peningkatan produksi termasuk jagung, kombinasi intervensi pemerintah dan mekanisme pasar dalam pengendalian penawaran serta permintaan pangan.
Harapan ke depan, ABG atau 5P+Plus perlu semakin nyata menjalin public private partnership. Pemerintah sebagai fasilitator dan protektor, pelaku perunggasan menyampaikan data yang semakin akurat, agar semua pihak dapat menganalisis secara baik. Kemudian bersama-sama menyusun road map, strategi, kebijakan perunggasan yang relevan, menuju peningkatkan mutu produk unggas
Misalnya NPQIP (National Poultry Quality Improvement Program) maupun penetapan target produksi dan bisnis perunggasan. Bisa melalui semacam “Dewan Perunggasan”. Selanjutnya, program pemerintah dapat diarahkan untuk menyediakan infrastruktur seperti rumah potong ayam, coldstorage, dan lainnya.
Tidak ketinggalan menyediakan kredit-murah penyeimbang cash flow, membuat aturan kemitraan yang mengayomi para pelaku, meningkatkan produksi jagung dan mengamankan suplai bahan-bahan baku. Jangan sekali-kali membuka impor ayam atau telur yang sudah sangat amat cukup diproduksi dalam negeri.
Source:www.trobos.com/22 Juli 2010
dokumentasi tambahan by Admin
MENU UTAMA
RAGAM DOWNLOAD
FAKULTAS PERTANIAN ON FACEBOOK
Website Fakultas Pertanian UMP, menurut Anda?
LINK PERUSAHAAN PETERNAKAN
WEBSITE KAMPUS UMP
KONSULTASI TERNAK ONLINE
ANDA PENGUNJUNG KE-
Pembuatan Pestisida Nabati
Perunggasan Masa Lalu, Kini, dan Ke Depan
Wednesday, July 21, 2010
Labels: Artikel